Juna begitulah sapaan anak itu, kalaupun kedua orang tuanya kaya raya tapi ia tak pernah merasa bahagia. Dari kecil ia tak pernah merasakan belaian kasih sayang kedua orang tuanya. Disaat ia sakit pun kedua orang tuanya nggak pernah memperhatikannya. Setiap hari – harinya ia lewati dengan senyum dan kebahagian palsu. Juna selalu mencoba untuk tabah tapi terkadang ia bertanya – tanya pada dirinya sendiri “Mengapa? Mengapa harus begini apa salah diri ini sampai harus hidup dalam penderitaan pedih ini.”
Sampai suatu saat Juna mencoba berbicara dengan mereka tapi tak ada yang mendengarnya. Mereka terlalu sibuk membuat dunianya sendiri – sendiri.
Pagi itu sarapan pagi, Juna tak mau menyia – yia kan waktu itu. Dia bercerita dengan bahagianya kalau hari senin kemarin ia terpilih menjadi ketua OSIS.
Namun kelihatannya kedua orang tuanya tak menghiraukan dan tak mendengar cerita Juna. Kalaupun demikian, ia tak secepat itu berkecil hati, ia tetap tersenyum mencoba tegar menanti sebuah kasih sayang. Malam itu ia duduk di taman sambil memandangi langit yang bertabur bintang indah. “Wahai bulan wahai bintang, tahukah kalian perasaan ini? Tahukah kalian isi hati ini? Andai kalian tahu betapa merindunya hati ini akan sebuah kasih sayang dari mereka. Alangkah bahagianya hati ini jika dapatkan itu kalaupun hanya sekejap mata. Ya, Tuhanku kenapa kau cipatakan derita dan pedih bila itu membuat hamba mu putus asa. Kenapa? ……. Aku merasa hidup ini sungguh rumit. Andai aku bisa memilih aku ingin menjadi sebuah batu. Dengan begitu aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya sedih, sakit hati, putus asa dan pilu.” Keesokan harinya Juna pergi ke kebun binatang untuk melepas penat yang menyesakkan otaknya. Disana ia melihat anak – anak yang bermain ria dengan kedua orang tuanya. Melihatnya Juna teringat akan masa kecilnya yang tak pernah diajak berekreasi. Alih – alih rekreasi mengobrol dengan Juna saja sama sekali tidak pernah. Tiba – tiba HP Juna berbunyi, ternyata ada SMS dari Bik Inem kalau mamanya masuk rumah sakit karena perutnya sakit. Tanpa basa – basi Juna bergegas menuju ke rumah sakit, setibanya disana Juna melihat ayah dan neneknya duduk dengan muka pucat pasi dan cemas. “ Yah? Apa yang terjadi sama mama? Gimana keadaan mama? ” Tapi ayahnya hanya diam sambil menundukkan kepala, satu jam kemudian dokter keluar dari UGD. “ Keluarga Ibu Amira? “ “ Iya dok, saya suaminya? ” “ Bisa ikut saya sebentar? ” “ Maaf dok, bisakah saya menjenguk menantu saya? ” “ Maaf, buk. Ibu Amira perlu istirahat yang cukup. Dan beliau akan segera dipindahkan ke ruang ICU. ” “ Mari ikut saya ada hal yang saya bicarakan dengan bapak? “ Juna berlari ke kamar mandi, dia bingung dengan apa yang terjadi. Nggak ada yang ngasih tau apa yang sedang mamanya derita. Kemudian ia ke kamar ICU tempat mamanya dirawat, dari balik jendela ia melihat wajah pucat mamanya. Ia meneteskan air matanya satu persatu membasahi pipinya. Tidak lama kemudian dokter datang dan menutup kaca pintunya dengan korden. Juna berjalan ke taman, ia merileks kan badan dan merasakan sepoi – sepoi angin membelai wajahnya. Lalu terpikir olehnya untuk memberanikan diri menemui dokter yang menangani mamanya. Juna sengaja tak pulang hari itu, supaya dia bisa menemui dokter itu tanpa diketahui oleh ayah dan neneknya. Namun dugaan Juna meleset ia kira ayah dan neneknya pulang tapi mereka menunggui mamanya. Ia nekat, ia mengubah rencananya. Jam menunjukan pukul 3 pagi, sesaat kemudian dokter itu hendak pulang menuju ke parkiran mobil. Juna mengikutinya dari belakang. Ketikan dokter mematikan alaram mobil dan masuk mobil. Juna langsung menodongnya dengan pisau dan menyuruhnya masuk dan menjalankan mobilnya jauh dari sini. “ Cepat jalankan mobil ini.” Kata Juna sambil menodongkan pisaunya ke leher dokter. “ Baik – baik.” Kata dokter ketakutan. Makin lama mobil itu berjalan menjauh, karena sudah dirasa cukup aman dan jalanan sepi maka juna membuka topengnya. “ Andakan yang menangani pasien bernama Ibu Amira.” Kata Juna sambil tetap menodongkan pisaunya lebih dekat. “ i..i…i ya…” kata dokter terbata – bata dengan perasaan takut. “ Kalu boleh tau apa penyakit yang diderita nya? “ kata Juna dengan mendekatkan bibirnya ke telinga dokter itu. Dokter menjawab dengan suara mantab,” Saya tidak tahu. Dan saya tidak mau tahu.” “Berarti anda merelakan kalau anak dan istri anda mati di tangan saya?” bentak Juna. “Dari pada anak dan istri saya yang mati, saya memilih kita mati bersama.” Jawab dokter sambil mencap gas dengan kencang. “ Cepat hentikan mobil ini!!!!” bentak juna. “ Tidak??” jawab dokter dengan keras. “ Atau kamu mau saya tusuk perut kamu? ” kata Juna dengan menarik kerah baju dokter. “ Silakan bunuh …. Bunuh saja saya. Saya memang sudah bosan hidup!! “ kata dokter dengan nada marah. “ Apa salah saya? Siapa kamu? Kenapa kamu memperlakukan saya begini? Saya masih ingin hidup, saya ingin melihat anak pertama saya lahir ke dunia ini. Kenapa harus saya?“ Kata dokter menimpali Juna lagi dengan nada sedih dan menangis, sambil melambatkan mobil. Suasana hening menyelimuti mereka, Juna menurunka pisau yang ditodongkannya. Juna menangis sambil mengangkat kakinya di jok lalu melipat kakinya dan memeluknya. Ia teringat akan masa kecilnya, dalam hati kecilnya muncul sejuta tanya. Mungkinkah mereka menginginkan aku lahir ke dunia ini? Mungkinkah mereka menantiku dalam 9 bulan 10 hari? Benarkah mereka sayang pada ku? Tahukah mereka semua yang ku alami? Sadarkah mereka tentang kehadiran ku?. Juna menangis sedih, kemudian ia tertawa dan berkata “ Sebenarnya saya adalah anak ibu Amira dan Pak Ino. Selama ini saya hidup kesepian.” “ Nggak,….. mungkin.”, Bantah dokter.“ Anda boleh tidak percaya, tapi ini kenyataannya.”, Kata Juna dengan nada meledek.“ Tapi!!!!!”, jawab Dokter dengan nada tak percaya.“ Saya mohon Dok kasih tau saya dok apa penyakit yang mama saya derita, saya mohon!”, Kata Juna dengan memegang tangan dokter itu, matanya memandang mata sang dokter “ Tidak….!! Saya bilang tidak ya tidak “ Tiba – tiba pertigaan depan…….tin…..tin……tin…. ada truk di depan. “ Awas…..” , teriak Juna dengan sigap dan cekatan Juna memutar setir ke kanan dan pyar….pyar…mobil itu masuk Jurang. Mobil mengelinding ke dasar jurang dengan cepatnya. Di dalam mobil, Juna berupaya menyelamatkan dokter dengan memeluknya erat – erat. Agar dia tak terluka. Di dalam mobil yang bergelinding itu juga Juna pasrah dan selalu berdoa, “ Selamatkan nyawanya Ya Allah.” Juna merasa tak tahan lagi dengan rasa pusing akibat diputar – putar dalam mobil yang bergelinding maka Juna pun pingsang…. Selang beberada detik Juna pun sadar. Dia mencium bau bensin, maka secepat mungkin dia berusaha keluar dari mobil itu lewat jendela mobil yang kacanya sudah remuk berceceran sambil menarik tubuh sang dokter. Juna menarik tubuh sang dokter menjauh…dan jauh semakin jauh dari mobil itu. Hari menjelang pagi pukul 5. Karena mungkin sudah cukup jauh maka Juna berhenti dan jatuh tak berdaya. “ duar…..duar….duar,” dentuman ledakan yang keras sampai – sampai membangunkan dokter yang kala itu masih pingsan. “ Dimana saya apa yang terjadi?,” kata dokter sambil memegang kepalanya yang pusing. Kemudian ia mencoba bangun, tangan kanannya menyentuh tanah untuk menjadi tumpuan.” Apa ini?,” kata dokter sambil berdiri dan mengangkat tangan kanannya untuk melihat apa yang ia pegang. “Darah?,” kata Dokter heran,”Darah siapa? Perasaan saya baik – baik saja, hanya luka lecet, “ kata Dokter dalam hati. Dia menghadap kebawah, “ YA ALLAH…dek…dek….bangun. bangun dek,” kata dokter panik.” Tolong…tolong….tolong…,” teriak dokter dengan keras. Dokter tak tega melihat Juna berlumuran darah di sekujur tubunya. Tak henti – hentinya dokter berterik minta tolong sambil menangis. Juna terbatuk – batuk dan perlahan – lahan membuka matanya. “ Dok, apa penyakit mama saya?,” tanya Juna dengan terbata – bata. Dokter memangku kepala Juna sambil mengelengkan kepala. “ Saya mohon dok ”desak Juna. “ Baiklah, jika itu bisa membuat kamu merasa lebih baik. Ginjal Ibu kamu sudah rusak…harus segera di cangkok,” jawab Dokter. “ Apa? Kalau begitu ambil ginjal saya dok,. Saya mohon,” pinta Juna dengan mengharab iba. “ Saya mohon dok…saya belum pernah mengucapkan terimakasih sama mama. Karena dia sudah melahirkan saya ke dunian ini. Saya akan terasa amat sangat berdosa bila tidak melakukan ini,” jelas Juna.“ Baik…”, jawab Dokter dengan nada keberatan. “ Dok saya minta Dokter mengambil ginjal saya di RS lain saja dan dokter mau kan berjanji kalau tidak akan menceritakan siapa yang memberikan ginjal itu,?”. Dokter hanya diam dan menangis pilu. “Gimana, dok?” tanya Juna. “Baik….baik….” jawab dokter dengan mata sembab. Akhirnya pun operasi pencangkokan ginjal di lakukan di rumah sakit yang berbeda. Seminggu kemudian setelah di lakukan operasi itu, Ibu Amira pergi ke rumah sakit untuk melakukan chek up. “Dok? Boleh saya bertanya sesuatu?” “Tentu boleh Bu Amira. Memangnya ibu mau tanya apa kepada saya?” “Tapi dokter harus berjanji untuk menjawab pertanyaan ini dengan jujur?” “Baik.” Kata dokter dengan nada ragu “Kalau boleh tahu, siapa kah orang baik yang mau memberikan satu ginjal nya untuk saya dok?” Dokter hanya terdiam bingung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ibu Amira. Dia sudah berjanji pada Juna untuk tidak memberitahu apapun pada mamanya. “Maaf bu, jika saya lancang. Tapi saya sudah bilang kalau orang ini tidak mau disebutkan namanya.” “Tapi, dok?? Setidaknya saya harus tahu nama orang ini. Saya akan berterimakasih padanya dok. Saya mohon.” “Maaf bu, saya sudah berjanji.” Kemudian dokter segera menulis resep dan meninggalkan ruangannya. Begitu pula Ibu Amira ia pulang dengan rasa penasaran akan kebaikan seseorang. Sepulang kerja dokter pergi ke rumah sakit tempat Juna di rawat. Sesampainya di ruang tempat Juna di rawat. Dokter itu mendekatkan bibirnya ke telinga Juna. Dan membisikan “Juna…? Ini saya, bisakah kita bicara?” Dengan agak berat Juna membuka mata nya perlahan – lahan. Lalu ia berusaha melihat ke arah dokter. “Juna, tadi mama kamu chek up ke rumah sakit. Dia udah sehat, sekarang kamu yang harus cepet sehat. Biar kamu cepet bisa keluar dari sini terus kamu bisa main – main dengan hari – harimu lagi.” Kata dokter sambil memegang tangan Juna. Juna hanya tersenyum mendengar kata – kata dokter itu sambil menganggukkan kepalanya. “Badan kamu semkin hari semakin kurus dan muka kamu juga semakin pucat. Apa tidak sebaiknya kamu hubungi orang tua kamu.?” Juna menggelengkan kepala tanda tak setuju dengan usulan dokter. “Tadi Ibu Amira menanyakan orang yang telah mendonorkan ginjalnya. Tapi saya tidak menjawab pertanyaannya.” Juna tersenyum melihat dokter, dokter hanya memandang Juna dengan wajah sedih dan pilu. Tiba – tiba telfon dokter berbunyi dan ternyata telfon dari pembantunya di rumah. Ia mengabarkan kalau nyonyanya mau melahirkan. Dengan nada berat tapi agak senang ia pamit sama Juna. “Juna saya harus pulang karena istri saya mau melahirkan anak kami.” Juna mengangguk tersenyum. Selama berbulan – bulan dokter itu tak lagi menjenguk Juna lagi. Tapi Juna tak merasa sedih, kalaupun ia merasakan sakit yang teramat sangat. Kepalanya seperti dipukul – pukul dengan palu. Memang sudah sejak lama ia menyidap tumor otak. Sekarang semakin hari keadaan Juna semakin memburuk. Wajahnya bertambah pucat pasi dan tubuhnya pun bertambah kurus. Suatu sore Juna mendengar suara yang tak asing membangunkannya. “Hei?” Dengan agak berat Juna membuka mata nya. Dia lihat sesosok laki – laki duduk di dekat ranjangnya. “Maaf ya? Lama tak menjenguk. Kamu gimana?” kata dokter sambil menangis melihat Juna. Juna hanya melihat wajah dokter yang menanggis. Ia pun ikut menangis, bersama belaian mutiara – mutiara putih yang mengkilat di pipi. Juna berusaha mengusap air mata dokter dengan tangan dinginnya. “Kenapa Juna?? Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Kenapa baru sekarang saya mengetahuinya? Kamu bilang kita sahabat? Tapi kenapa kamu lakukan ini pada saya. Kamu bohongi saya dengan teganya.” Kata dokter sambil menatap mata Juna lebih dekat. Juna hanya bisa memberi jawaban lewat tangisnya. Ia seakan tak mampu berkata dengan bibir merah tipisnya yang sekarang putih pucat dimakan sakitnya. Karena merasa sedih akan penderitaan yang ditanggung oleh Juna dokter pun segera menuju ke rumah orang tua Juna dan menceritakan semuanya. Juna tak ingin bertemu kedua orang tuanya, dia berusaha bangkit dari ranjangnya dan melepas selang infuse di lengan nya. Dengan tertatih ia berusaha berjalan menuju ke taman. Ia duduk di sebuah bangku di bawah pohon yang berguguran daunnya. Tiba – tiba dari belakang ada yang memeluk badanya dengan hangat dan mencium telinga Juna dengan lembut. Sambil berkata, “Maaf kan mama dan ayah sayang, maaf…maaf.” “Ayah mohon,…” Juna mepuk - nepuk tangan ayah dan mamanya sambil mencium nya. Mama dan ayah nya hanya bisa menangis dan memeluk anak tunggalnya itu. “Ma…Yah, Juna bahagia hari ini.” Itulah kata terakhir yang terucap dari bibir putih pucat Juna. Kemudian mata Juna tertidur untu selamanya. Hujan turun menghiasi kepergian Juna. Mama dan Ayah Juna tak kuasa menahan derai air mata yang terus mengalir mengiringi langkah kaki menuju ke tempat peristirahatan terakhir untuk anak tercintanya. “Mama tahu sayang, mungkin ini jalan terbaik untuk kamu. Mama akan berusaha merelakan kamu pergi. Tapi rasanya berat…. Untuk merelakan kamu pergi secepat ini. Mama masih ingin menemani senyummu, tangismu, sedihmu di sepanjang hari yang kamu jalani.” “Juna ayah nggak bisa menyadari apa yang terjadi pada hari ini dan esok. Kehidupan ayah akan terasa kosong tanpa senyum dari anak ayah. ” Penyesalan slalu hadir di kala semua telah terjadi. Namun tak ada yang tahu akan takdir seseorang. Sungguh kenangan yang malang bagi yang mengalaminya.
Namun kelihatannya kedua orang tuanya tak menghiraukan dan tak mendengar cerita Juna. Kalaupun demikian, ia tak secepat itu berkecil hati, ia tetap tersenyum mencoba tegar menanti sebuah kasih sayang. Malam itu ia duduk di taman sambil memandangi langit yang bertabur bintang indah. “Wahai bulan wahai bintang, tahukah kalian perasaan ini? Tahukah kalian isi hati ini? Andai kalian tahu betapa merindunya hati ini akan sebuah kasih sayang dari mereka. Alangkah bahagianya hati ini jika dapatkan itu kalaupun hanya sekejap mata. Ya, Tuhanku kenapa kau cipatakan derita dan pedih bila itu membuat hamba mu putus asa. Kenapa? ……. Aku merasa hidup ini sungguh rumit. Andai aku bisa memilih aku ingin menjadi sebuah batu. Dengan begitu aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya sedih, sakit hati, putus asa dan pilu.” Keesokan harinya Juna pergi ke kebun binatang untuk melepas penat yang menyesakkan otaknya. Disana ia melihat anak – anak yang bermain ria dengan kedua orang tuanya. Melihatnya Juna teringat akan masa kecilnya yang tak pernah diajak berekreasi. Alih – alih rekreasi mengobrol dengan Juna saja sama sekali tidak pernah. Tiba – tiba HP Juna berbunyi, ternyata ada SMS dari Bik Inem kalau mamanya masuk rumah sakit karena perutnya sakit. Tanpa basa – basi Juna bergegas menuju ke rumah sakit, setibanya disana Juna melihat ayah dan neneknya duduk dengan muka pucat pasi dan cemas. “ Yah? Apa yang terjadi sama mama? Gimana keadaan mama? ” Tapi ayahnya hanya diam sambil menundukkan kepala, satu jam kemudian dokter keluar dari UGD. “ Keluarga Ibu Amira? “ “ Iya dok, saya suaminya? ” “ Bisa ikut saya sebentar? ” “ Maaf dok, bisakah saya menjenguk menantu saya? ” “ Maaf, buk. Ibu Amira perlu istirahat yang cukup. Dan beliau akan segera dipindahkan ke ruang ICU. ” “ Mari ikut saya ada hal yang saya bicarakan dengan bapak? “ Juna berlari ke kamar mandi, dia bingung dengan apa yang terjadi. Nggak ada yang ngasih tau apa yang sedang mamanya derita. Kemudian ia ke kamar ICU tempat mamanya dirawat, dari balik jendela ia melihat wajah pucat mamanya. Ia meneteskan air matanya satu persatu membasahi pipinya. Tidak lama kemudian dokter datang dan menutup kaca pintunya dengan korden. Juna berjalan ke taman, ia merileks kan badan dan merasakan sepoi – sepoi angin membelai wajahnya. Lalu terpikir olehnya untuk memberanikan diri menemui dokter yang menangani mamanya. Juna sengaja tak pulang hari itu, supaya dia bisa menemui dokter itu tanpa diketahui oleh ayah dan neneknya. Namun dugaan Juna meleset ia kira ayah dan neneknya pulang tapi mereka menunggui mamanya. Ia nekat, ia mengubah rencananya. Jam menunjukan pukul 3 pagi, sesaat kemudian dokter itu hendak pulang menuju ke parkiran mobil. Juna mengikutinya dari belakang. Ketikan dokter mematikan alaram mobil dan masuk mobil. Juna langsung menodongnya dengan pisau dan menyuruhnya masuk dan menjalankan mobilnya jauh dari sini. “ Cepat jalankan mobil ini.” Kata Juna sambil menodongkan pisaunya ke leher dokter. “ Baik – baik.” Kata dokter ketakutan. Makin lama mobil itu berjalan menjauh, karena sudah dirasa cukup aman dan jalanan sepi maka juna membuka topengnya. “ Andakan yang menangani pasien bernama Ibu Amira.” Kata Juna sambil tetap menodongkan pisaunya lebih dekat. “ i..i…i ya…” kata dokter terbata – bata dengan perasaan takut. “ Kalu boleh tau apa penyakit yang diderita nya? “ kata Juna dengan mendekatkan bibirnya ke telinga dokter itu. Dokter menjawab dengan suara mantab,” Saya tidak tahu. Dan saya tidak mau tahu.” “Berarti anda merelakan kalau anak dan istri anda mati di tangan saya?” bentak Juna. “Dari pada anak dan istri saya yang mati, saya memilih kita mati bersama.” Jawab dokter sambil mencap gas dengan kencang. “ Cepat hentikan mobil ini!!!!” bentak juna. “ Tidak??” jawab dokter dengan keras. “ Atau kamu mau saya tusuk perut kamu? ” kata Juna dengan menarik kerah baju dokter. “ Silakan bunuh …. Bunuh saja saya. Saya memang sudah bosan hidup!! “ kata dokter dengan nada marah. “ Apa salah saya? Siapa kamu? Kenapa kamu memperlakukan saya begini? Saya masih ingin hidup, saya ingin melihat anak pertama saya lahir ke dunia ini. Kenapa harus saya?“ Kata dokter menimpali Juna lagi dengan nada sedih dan menangis, sambil melambatkan mobil. Suasana hening menyelimuti mereka, Juna menurunka pisau yang ditodongkannya. Juna menangis sambil mengangkat kakinya di jok lalu melipat kakinya dan memeluknya. Ia teringat akan masa kecilnya, dalam hati kecilnya muncul sejuta tanya. Mungkinkah mereka menginginkan aku lahir ke dunia ini? Mungkinkah mereka menantiku dalam 9 bulan 10 hari? Benarkah mereka sayang pada ku? Tahukah mereka semua yang ku alami? Sadarkah mereka tentang kehadiran ku?. Juna menangis sedih, kemudian ia tertawa dan berkata “ Sebenarnya saya adalah anak ibu Amira dan Pak Ino. Selama ini saya hidup kesepian.” “ Nggak,….. mungkin.”, Bantah dokter.“ Anda boleh tidak percaya, tapi ini kenyataannya.”, Kata Juna dengan nada meledek.“ Tapi!!!!!”, jawab Dokter dengan nada tak percaya.“ Saya mohon Dok kasih tau saya dok apa penyakit yang mama saya derita, saya mohon!”, Kata Juna dengan memegang tangan dokter itu, matanya memandang mata sang dokter “ Tidak….!! Saya bilang tidak ya tidak “ Tiba – tiba pertigaan depan…….tin…..tin……tin…. ada truk di depan. “ Awas…..” , teriak Juna dengan sigap dan cekatan Juna memutar setir ke kanan dan pyar….pyar…mobil itu masuk Jurang. Mobil mengelinding ke dasar jurang dengan cepatnya. Di dalam mobil, Juna berupaya menyelamatkan dokter dengan memeluknya erat – erat. Agar dia tak terluka. Di dalam mobil yang bergelinding itu juga Juna pasrah dan selalu berdoa, “ Selamatkan nyawanya Ya Allah.” Juna merasa tak tahan lagi dengan rasa pusing akibat diputar – putar dalam mobil yang bergelinding maka Juna pun pingsang…. Selang beberada detik Juna pun sadar. Dia mencium bau bensin, maka secepat mungkin dia berusaha keluar dari mobil itu lewat jendela mobil yang kacanya sudah remuk berceceran sambil menarik tubuh sang dokter. Juna menarik tubuh sang dokter menjauh…dan jauh semakin jauh dari mobil itu. Hari menjelang pagi pukul 5. Karena mungkin sudah cukup jauh maka Juna berhenti dan jatuh tak berdaya. “ duar…..duar….duar,” dentuman ledakan yang keras sampai – sampai membangunkan dokter yang kala itu masih pingsan. “ Dimana saya apa yang terjadi?,” kata dokter sambil memegang kepalanya yang pusing. Kemudian ia mencoba bangun, tangan kanannya menyentuh tanah untuk menjadi tumpuan.” Apa ini?,” kata dokter sambil berdiri dan mengangkat tangan kanannya untuk melihat apa yang ia pegang. “Darah?,” kata Dokter heran,”Darah siapa? Perasaan saya baik – baik saja, hanya luka lecet, “ kata Dokter dalam hati. Dia menghadap kebawah, “ YA ALLAH…dek…dek….bangun. bangun dek,” kata dokter panik.” Tolong…tolong….tolong…,” teriak dokter dengan keras. Dokter tak tega melihat Juna berlumuran darah di sekujur tubunya. Tak henti – hentinya dokter berterik minta tolong sambil menangis. Juna terbatuk – batuk dan perlahan – lahan membuka matanya. “ Dok, apa penyakit mama saya?,” tanya Juna dengan terbata – bata. Dokter memangku kepala Juna sambil mengelengkan kepala. “ Saya mohon dok ”desak Juna. “ Baiklah, jika itu bisa membuat kamu merasa lebih baik. Ginjal Ibu kamu sudah rusak…harus segera di cangkok,” jawab Dokter. “ Apa? Kalau begitu ambil ginjal saya dok,. Saya mohon,” pinta Juna dengan mengharab iba. “ Saya mohon dok…saya belum pernah mengucapkan terimakasih sama mama. Karena dia sudah melahirkan saya ke dunian ini. Saya akan terasa amat sangat berdosa bila tidak melakukan ini,” jelas Juna.“ Baik…”, jawab Dokter dengan nada keberatan. “ Dok saya minta Dokter mengambil ginjal saya di RS lain saja dan dokter mau kan berjanji kalau tidak akan menceritakan siapa yang memberikan ginjal itu,?”. Dokter hanya diam dan menangis pilu. “Gimana, dok?” tanya Juna. “Baik….baik….” jawab dokter dengan mata sembab. Akhirnya pun operasi pencangkokan ginjal di lakukan di rumah sakit yang berbeda. Seminggu kemudian setelah di lakukan operasi itu, Ibu Amira pergi ke rumah sakit untuk melakukan chek up. “Dok? Boleh saya bertanya sesuatu?” “Tentu boleh Bu Amira. Memangnya ibu mau tanya apa kepada saya?” “Tapi dokter harus berjanji untuk menjawab pertanyaan ini dengan jujur?” “Baik.” Kata dokter dengan nada ragu “Kalau boleh tahu, siapa kah orang baik yang mau memberikan satu ginjal nya untuk saya dok?” Dokter hanya terdiam bingung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ibu Amira. Dia sudah berjanji pada Juna untuk tidak memberitahu apapun pada mamanya. “Maaf bu, jika saya lancang. Tapi saya sudah bilang kalau orang ini tidak mau disebutkan namanya.” “Tapi, dok?? Setidaknya saya harus tahu nama orang ini. Saya akan berterimakasih padanya dok. Saya mohon.” “Maaf bu, saya sudah berjanji.” Kemudian dokter segera menulis resep dan meninggalkan ruangannya. Begitu pula Ibu Amira ia pulang dengan rasa penasaran akan kebaikan seseorang. Sepulang kerja dokter pergi ke rumah sakit tempat Juna di rawat. Sesampainya di ruang tempat Juna di rawat. Dokter itu mendekatkan bibirnya ke telinga Juna. Dan membisikan “Juna…? Ini saya, bisakah kita bicara?” Dengan agak berat Juna membuka mata nya perlahan – lahan. Lalu ia berusaha melihat ke arah dokter. “Juna, tadi mama kamu chek up ke rumah sakit. Dia udah sehat, sekarang kamu yang harus cepet sehat. Biar kamu cepet bisa keluar dari sini terus kamu bisa main – main dengan hari – harimu lagi.” Kata dokter sambil memegang tangan Juna. Juna hanya tersenyum mendengar kata – kata dokter itu sambil menganggukkan kepalanya. “Badan kamu semkin hari semakin kurus dan muka kamu juga semakin pucat. Apa tidak sebaiknya kamu hubungi orang tua kamu.?” Juna menggelengkan kepala tanda tak setuju dengan usulan dokter. “Tadi Ibu Amira menanyakan orang yang telah mendonorkan ginjalnya. Tapi saya tidak menjawab pertanyaannya.” Juna tersenyum melihat dokter, dokter hanya memandang Juna dengan wajah sedih dan pilu. Tiba – tiba telfon dokter berbunyi dan ternyata telfon dari pembantunya di rumah. Ia mengabarkan kalau nyonyanya mau melahirkan. Dengan nada berat tapi agak senang ia pamit sama Juna. “Juna saya harus pulang karena istri saya mau melahirkan anak kami.” Juna mengangguk tersenyum. Selama berbulan – bulan dokter itu tak lagi menjenguk Juna lagi. Tapi Juna tak merasa sedih, kalaupun ia merasakan sakit yang teramat sangat. Kepalanya seperti dipukul – pukul dengan palu. Memang sudah sejak lama ia menyidap tumor otak. Sekarang semakin hari keadaan Juna semakin memburuk. Wajahnya bertambah pucat pasi dan tubuhnya pun bertambah kurus. Suatu sore Juna mendengar suara yang tak asing membangunkannya. “Hei?” Dengan agak berat Juna membuka mata nya. Dia lihat sesosok laki – laki duduk di dekat ranjangnya. “Maaf ya? Lama tak menjenguk. Kamu gimana?” kata dokter sambil menangis melihat Juna. Juna hanya melihat wajah dokter yang menanggis. Ia pun ikut menangis, bersama belaian mutiara – mutiara putih yang mengkilat di pipi. Juna berusaha mengusap air mata dokter dengan tangan dinginnya. “Kenapa Juna?? Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Kenapa baru sekarang saya mengetahuinya? Kamu bilang kita sahabat? Tapi kenapa kamu lakukan ini pada saya. Kamu bohongi saya dengan teganya.” Kata dokter sambil menatap mata Juna lebih dekat. Juna hanya bisa memberi jawaban lewat tangisnya. Ia seakan tak mampu berkata dengan bibir merah tipisnya yang sekarang putih pucat dimakan sakitnya. Karena merasa sedih akan penderitaan yang ditanggung oleh Juna dokter pun segera menuju ke rumah orang tua Juna dan menceritakan semuanya. Juna tak ingin bertemu kedua orang tuanya, dia berusaha bangkit dari ranjangnya dan melepas selang infuse di lengan nya. Dengan tertatih ia berusaha berjalan menuju ke taman. Ia duduk di sebuah bangku di bawah pohon yang berguguran daunnya. Tiba – tiba dari belakang ada yang memeluk badanya dengan hangat dan mencium telinga Juna dengan lembut. Sambil berkata, “Maaf kan mama dan ayah sayang, maaf…maaf.” “Ayah mohon,…” Juna mepuk - nepuk tangan ayah dan mamanya sambil mencium nya. Mama dan ayah nya hanya bisa menangis dan memeluk anak tunggalnya itu. “Ma…Yah, Juna bahagia hari ini.” Itulah kata terakhir yang terucap dari bibir putih pucat Juna. Kemudian mata Juna tertidur untu selamanya. Hujan turun menghiasi kepergian Juna. Mama dan Ayah Juna tak kuasa menahan derai air mata yang terus mengalir mengiringi langkah kaki menuju ke tempat peristirahatan terakhir untuk anak tercintanya. “Mama tahu sayang, mungkin ini jalan terbaik untuk kamu. Mama akan berusaha merelakan kamu pergi. Tapi rasanya berat…. Untuk merelakan kamu pergi secepat ini. Mama masih ingin menemani senyummu, tangismu, sedihmu di sepanjang hari yang kamu jalani.” “Juna ayah nggak bisa menyadari apa yang terjadi pada hari ini dan esok. Kehidupan ayah akan terasa kosong tanpa senyum dari anak ayah. ” Penyesalan slalu hadir di kala semua telah terjadi. Namun tak ada yang tahu akan takdir seseorang. Sungguh kenangan yang malang bagi yang mengalaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar